Wednesday 12 March 2008

Bertamu ke Tangkoko, Bertemu Tangkasi

Jangan bertanya seperti apa rasanya saat pertama kali bertatap muka dengan tangkasi (nama lokal Tarsius spectrum), primata ter-imut sedunia. Sangat menyenangkan! Karena sekalipun masih berpeluh seluruh badan, rasa lelah setelah perjalanan panjang tiba-tiba hilang tergantikan perasaan terpesona, bergairah dan ingin tahu.

Demi melihat primata endemik Sulawesi ini, kami harus melalui rute yang tidak singkat. Menumpang bus umum selama 1,5 jam dari Paal II Menado ke terminal Tangkoko di Bitung, lalu turun di Girian untuk melanjutkan perjalanan dengan “oto open cap” (kendaraan umum dari mobil dengan bak belakang terbuka yang dimodifikasi agar bisa memuat banyak penumpang) selama lebih dari satu jam. Untungnya saat ini jalan menuju Taman Nasianal Tangkoko tidak lagi menyakitkan punggung, masih berliku-liku tapi cukup mulus beraspal. Dengan oto open cap, kami tiba tepat di depan pintu masuk ke Taman Nasional Tangkoko
Taman Nasional Tangkoko adalah rumah bagi banyak spesies, bukan hanya bagi 328 jenis burung yang 47 jenis di antaranya adalah endemik, tapi khususnya terkenal sebagai tempat tinggal yaki (Macaca nigra), kuskus (Phalanger ursinus) dan tangkasi (Tarsius spectrum) yang khas dan unik. Rumah satwa yang luasnya 8.718 Ha ini meliputi beragam ekosistem, dari pantai, hutan hingga pegunungan. Ada tiga gunung berapi yaitu gunung Tangkoko dan puncak kembar Dua Saudara.

Belum masuk ke dalam hutan, sambutan kicau burung sudah terdengar. Kami makin bersemangat untuk segera menyusurinya. Saat itu hari sudah sore, tangkasi akan segera keluar dari sarangnya untuk mencari makan. Di antara langkah-langkah yang tergesa, sesekali guide menunjuk beberapa jenis burung yang hinggap di pohon dekat jalan setapak. Waktu yang tersisa sangat sedikit, tapi terasa nikmat berada di dalam hutan.

Akhirnya setelah menempuh jarak 4 mil yang remang, guide menunjuk satu pohon beringin besar sambil berbisik, “Ssttt, di sini tempatnya, bicara pelan-pelan..”. Tangkasi pertama pun terlihat. Mata bundar tangkasi sangat besar, telinganya lebar, terus bergerak-gerak dan sangat sensitif. Langkah perlahan kami pun terdeteksi. Segera tangkasi pertama tersebut masuk kembali ke lubang pohon, sarangnya. Tapi tak lama kemudian, naluri mencari makan mendorong beberapa tangkasi melompat keluar. Selama beberapa menit tangkasi-tangkasi tersebut bergantung diam di cabang-cabang dekat rumah pohon mereka, seakan-akan sengaja memberi waktu kepada kami untuk beramah tamah, diamati dan dipotret. Mempesonakan manakala mereka menengok kepada kami karena tangkasi bisa memutarkan kepala nyaris 180 derajat. Saat diam, posisi tubuh mereka begitu teguh. Jari-jari yang panjang memungkinkan tangkasi menempel erat pada cabang-cabang pohon. Uniknya, sementara jari-jari lain berkuku biasa, jari kaki kedua dan ketiga tangkasi berkuku panjang melengkung, berfungsi untuk membersihkan diri.

Sebelum mereka hilang dalam sekelebatan, setidaknya kami sudah melihat lima ekor tangkasi dewasa. Dengan kaki belakang yang panjangnya dua kali panjang badan dan kepala, tangkasi-tangkasi itu melompat begitu tinggi dan sangat cepat dari satu pohon ke pohon yang lain. Mereka hilang dari pandangan

Selagi kami mulai menyadari rasa lelah dan ingin segera kembali ke penginapan, tangkasi yang nokturnal sedang aktif-aktifnya bergerak, berburu makanan seperti semut, kumbang kepik, ngengat, kecoak, kadal, kelelawar, ular, dan burung. Selagi kami membaringkan badan dan tertidur, tangkasi sedang menjelajahi teritorinya dengan lompatan-lompatan yang ringan dan jauh.


Mimpi indah malam itu adalah pemandangan tangkasi yang hidup bebas di habitatnya, rumah hutan yang lestari.
 
(April 2006, laporan perjalanan untuk buletin Suara Primata)